Sumenep, Madura Update – Teka-teki tentang sosok Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sumenep menjadi perbincangan hangat di kalangan publik dan pemerhati birokrasi.
Rumor yang beredar menyebutkan, sosok yang akan ditunjuk merupakan seorang pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang memiliki rekam jejak kontroversial.
Kontroversi yang melingkupi calon tersebut dinilai berpotensi menimbulkan konsekuensi serius terhadap jalannya pemerintahan daerah ke depan.
Sosok yang dimaksud dalam rumor tersebut adalah Agus Dwi Saputra, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep.
Saat dikonfirmasi mengenai kebenaran rumor penunjukannya, Agus membantah dengan tegas. “Sampai detik ini, tidak ada. Itu hoaks,” ujarnya melalui sambungan telepon, Senin (25/8/2025).
Namun demikian, Agus menyatakan kesiapannya sebagai seorang aparatur sipil negara (ASN) untuk menerima setiap tugas yang diberikan.
“Pokoknya, sebagai pegawai, jika ada perintah, tidak ada lain lagi, siap,” tegasnya dengan sikap rendah hati.
Dirangkum dari berbagai sumber, sebagai pejabat Sumenep, Agus Dwi Saputra pernah menjabat sebagai Kepala Disperindak sejak 2019 sampai 2021.
Selama kurang lebih dua tahun, Agus tak mampu menyelesaikan sengketa pembangunan pasar Batuan yang menelan anggaran total Rp 9,5 miliar.
Setelah itu, dia dipercaya menjabat Kadisdik Sumenep mulai 2021 sampai sekarang. Penunjukan sebagai kadisdik ini mendapat protes besar-besaran dari publik karena dinilai tak kompeten dan tak punya grand desain pendidikan Sumenep.
Bahkan, Dinas Pendidikan Sumenep diterpa isu tak sedap soal pengaturan pengadaan buku ajar. Terkini, isu PKBM fiktif juga menyeruak ke publik.
Menanggapi isu ini, pengamat politik dan kebijakan publik dari Universitas Wiraraja Madura, Wilda Rasaili, mengatakan, bupati harus mempertimbangkan secara matang figur yang akan ditunjuk menjadi Plt Sekda Sumenep.
Sebab, penunjukan figur yang kontroversial dapat berimbas pada terganggunya jalannya pemerintahan.
“Konsekuensinya, soal stabilitas bisa tidak stabil, konsentrasi akan terganggu. Sebab, sejak proses hingga ia menjabat, ia akan terus disorot oleh publik,” jelas Wilda.
Ada dua pendekatan dalam penentuan Sekda (restrukrurisasi opd) meritokrasi dan politik. Kata Wilda, meritokrasi mempertimbangkan pada integritas (etika administrasi publik), kompetensi, dan prestasi kerja.
“Maka calon yang tidak memenuhi kualifikasi tersebut seharusnya tidak menjadi pilihan untuk menjadi sekda jika bupati-betul serius untuk membangun sumenep dan akselerasi visi bupati,” ujar Wilda.
Wilda menegaskan, untuk memastikan pemerintahan daerah berjalan lancar dan tanpa riak-riak negatif, penunjukan sosok Plt. mesti pribadi yang berintegritas tinggi dan memiliki rekam jejak bersih.
“Dalam hal politik, bukan hanya tentang mengatur kepentingan internal, tetapi juga harus memprioritaskan sosok yang tidak rentan terhadap sorotan publik,” paparnya.
Lebih lanjut, Wilda menjelaskan perbedaan fundamental yang akan terjadi.
“Jika sosok itu bersih, maka masyarakat hanya akan menagih kinerjanya. Berbeda dengan yang kontroversial, publik justru akan menyoroti masa lalunya. Situasi ini tentu akan menjadi tantangan berat bagi Bupati,” pungkas Wilda.
Kemudian ada pertimbangan politik yang berkaitan dengan loyalitas dan stabilitas. Loyalitas harus dimaknai dengan pengetahuan dan komitmen dalam menjalankan kehendak (visi) bupati. Kemudian stabilitas yaitu sosok yang tidak menimbulkan kontroverai publik dan isu-isu negatif dipublik. ( ri/kara)